BAB 1
PENDAHULUAN
Pendidikan marupakan upaya sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbinan, pengajaran maupun latihan bagi peranannya pada masa yang akan datang dan dapat terjadi di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam arti luas Pendidikan adalah semua pengalaman belajar sepanjang hidup dimana saja dan kapan saja sehingga tujuan pendidikan adalah tujuan hidup.
Berbicara masalah pendidikan, tidak terlepas dari para tokoh pedidikan, salah satunya Al-Ghazali. Selain ahli dalam bidang tasawuf, Al-Ghazali memiliki peran yang luar biasa dalam berbagai ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu". (QS Ath-Thalaq : 12).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai apa itu pendidikan menurut Al-Ghazali, peserta didik, pendidik, kurikulum, metode pengajaran, serta hukuman dan hadiah menurut Al-Ghazali.
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H /059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan. Al-Ghazali wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 4 Jumadil Akhir tahun 505 H /1 Desember 1111 M (Abuddin Nata, 1997).
Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi‘i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur. Disana ia mempelajari teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.
Karya-karya Al-Ghazali dibuat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam ilmu kalam, Al-Ghazali misalnya menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi Ilm al-Kalam (Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam); dalam bidang tasawuf menulis buku Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), dalam ilmu hukum Islam ia menulis kitab al-Musytasyfa’ (Yang Menyembuhkan) dan dalam filsafat ia menulis Maqasid al-Falasifah (Tujuan dari Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat).
B. Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Pendidikan merupakan upaya penanaman nilai-nilai dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Bila nilai-nilai tersebut diambil dari sumber dan dasar ajaran agama Islam sebagaimana termuat dalam al-Qur‘an dan Hadits, maka proses pendidikan tersebut disebut sebagai pendidikan Islam.
Al-Ghazali merupakan tokoh yang sangat memperhatikan bidang pendidikan, karena menurutnya pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu bangsa. Pemikiran pendidikan Al-Ghazali menurut al-Tibawi dianggapnya paling baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain, hal ini disebabkan karena Al-Ghazali adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar.
Kunci pokok pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan dapat ditemukan pada pertanyaan tentang hakikat pendidikan yakni mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela, karena ilmu merupakan ibadahnya hati, salat yang bersifat rahasia, dan sarana pendekatan batin kepada Allah.
Tujuan pendidikan menurut Al-ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq, Rumusan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
”tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaKu ”
C. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Imam Ghazali mengatakan bahwa mata pelajaran yang harus di sampaikan kepada anak didik didasarkan kepada dua pendekatan, antara lain:
1. Pendekatan Agama
bahwa mata pelajaran yang utama dan harus terdapat dalam kurikulum pendidikan adalah ilmu Agama.
Seperti: Al-Qur’an dan al-Hadits, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dsb.
2. Pendekatan Pragmatis
bahwa setiap ilmu harus memiliki dampak positif, baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat.
Seperti:ilmu kedoteran, ilmu matematika, dsb.
Al- ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Berdasarkan pembidangan ilmu
a. Ilmu syri’ah sebagai ilmu yang terpuji
1) Ilmu usul (pokok): ilmu Al-qur’an, hadis, pendapat sahabat, ijma’
2) Ilmu furuk (cabang): fiqih, akhlaq
3) Ilmu pengantar: ilmu bahasa dan gramatika
4) Ilmu pelengkap: ilmu tafsir, biografi, sejarah perjuangan sahabat.
b. Ilmu bukan syari’ah
1) Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung, ilmu perusahaan
2) Ilmu yang diperbolehkan: kebudayaan, sastra, puisi
3) Ilmu yang tercela: sihir
2. Berdasarkan objek ilmu
a. Ilmu yang tercela secara mutlaq baik sedikit maupun banyak. Seperti: ramalan nasib
b. Ilmu pengetahuan yang terpuji baik sedikit maupun banyak. Seperti: ilmu tentang beribadah
3. Berdasarkan status hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya
a. Fardu ain. Seperti: ilmu agama dan cabangnya
b. Fardu kifayah. Seperti: kedokteran, pertanian, ilmu hitung, pertenunan, politik.
D. Metode pengajaran
Metode dan media yang dipakai menurut Al- ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, prakmatis dalam rangka keberhasilan pembelajaran.
Metode dan media pembelajaran tidak boleh monoton.
diantaranya adalah: pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil aqli dan naqli, bimbingan dan nasehat, pujian dan hukuman, dan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlaq yang mulia.
E. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali
Segala hal yang harus dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar tersebut diuraikan Al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad, yaitu:
1. Menjauhkan diri dari perbuatan keji, munkar, dan maksiat
2. Senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah
3. Memusatkan perhatiannya terhadap ilmu yang sedang dikaji/dipelajarinya
4. Janganlah menyombongkan diri dengan ilmunya dan janganlah menentang gurunya
5. Tidak melibatkan diri dalam perdebatan ilmu pengetahuan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-ilmu itu
6. Tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu pengetahuan yang terpuji
7. Tidak memasuki suatu bidang ilmu pengetahuan dengan serentak, tetapi tertib dan memulainya dari yang lebih penting
Oleh karena itu,kewajiban seorang siswa adalah mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang buruk dan sifat tercela, tidak sombong, mengurangi keterkaitannya dengan duniawi, tidak mempelajari ilmu lain sebelum ilmu yang satu diselesaikan, seorang anak harus mengetahui sebab yang dengannya diperoleh pengetahuan.
F. Pendidik Menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, kriteria guru yang baik dan benar adalah:
1. Cerdas dan sempurna akalnya
dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam
2. Baik akhlaknya
dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya
3. Kuat fisiknya
dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak didiknya.
Al-Ghazali juga mengemukakan mengenai syarat-syarat seorang pendidik, yaitu:
1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
2. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagaimana tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya
3. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah
4. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawanya pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat
5. Dihadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati, dan berakhlak terpuji lainnya
6. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya
7. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya
8. Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga di samping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya
9. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
G. Hukuman dan Hadiah
Menurut Al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila suatu saat anak melakukan kesalaan, pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.
Al-Ghazali juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”
BAB 111
KESIMPULAN
Jika kita perhatikan, tampak jelas bahwa pandangan-pandangan Al-Ghazali yang bercorak religius dan sufistik mewarnai apa yang diuraikan di muka. Tujuan pendidikan menurut al- ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlaq. Peserta didik seharusnya: Menjauhkan diri dari perbuatan keji, munkar, dan maksiat, Senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah, Memusatkan perhatiannya terhadap ilmu yang sedang dikaji/dipelajarinya, dst. Menurut Al-Ghazali, kriteria guru yang baik dan benar adalah: Cerdas dan sempurna akalnya, Baik akhlaknya, serta Kuat fisiknya.dalam hal hadiah dan hukuman, Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Seorang murid menurut Al-Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal guru bagi dirinya sendiri, dan dengan ber-akhlaqul karimah menjadi uswatun hasanah atau teladan yang baik bagi yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Iman Ghazali. 2004. Ihya ‘Ulumuddin. Surabaya: Himmah Jaya.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pedidikan Islam. Quantum Teaching.
Zuhairini, dkk. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
FPI-(PAI A-1b)

Senin, 27 Desember 2010
Rabu, 08 Desember 2010
peringatan 1 syura di yogyakarta
peringatan tahun baru islam atau lebih dikenal dengan 1 syura di yogyakarta menurut kelompok kami mendidik. suatu fenomena dikatakan mendidik jika telah memenuhi faktor-faktor pendidikan. faktor-faktor pendidikan itu sendiri adalah adanya tujuan, subjek/ peserta didik, pendidik, kurikulum, sarana da prasarana, lingkungan. selain faktor-faktor pendidikan juga ada sarana-sarana ilmu yaitu panca indera, ada akal yang sehat dan informasi/berita yang benar.
peringatan 1 syura menurut kelompok kami mendidik yaitu dilihat dari sudut pandang sosial mendidik dalam hal kebersamaan, persatuan dan gotong royong sedangkan dari sudut pandang agama yaitu meyakini adanya alam ghaib atau dalam bahasa filsafat alam supranatural. selain itu juga mendidik dalam melestarikan budaya.
peringatan 1 syura menurut kelompok kami mendidik yaitu dilihat dari sudut pandang sosial mendidik dalam hal kebersamaan, persatuan dan gotong royong sedangkan dari sudut pandang agama yaitu meyakini adanya alam ghaib atau dalam bahasa filsafat alam supranatural. selain itu juga mendidik dalam melestarikan budaya.
Selasa, 26 Oktober 2010
EPISTEMOLOGI
Epistemologi, berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan.
Epistemology pertama kali dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang bersifat rasional spekulatif. Yang dimaksud rasional spekulatif oleh plato semata-mata hanya didasarkan pada dunia ide, yaitu ide-ide bawaan manusia, Sedangkan yang dimaksud rasional spekulatif menurut Aristoteles pengetahun itu tidak berasal dari ide-ide bawaan manusia, Karena ide-ide bawaan itu sebenarnya tidak ada. Manusia memperoleh pengetahuan melalui proses pengamatan inderawi yang panjang yang disebut sebagai proses abstraksi.
Kemudian epistemology dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan ibn Sina menjadi rasional empiric, yang dimaksud rasional empiric yaitu para filosof muslim ini menambahkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui wahyu. Al-Ghazali mengembangkannya menjadi empiric trasendental, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf atau intuisi. Selanjutnya, Ibn Rusyd menjadi empiric eksperimental yaitu epistemology yang dikembangkan al-Ghazali tidak mendasarkan pada hukum kasualitas, tetapi mengandalakan kasyfiyah (penyingkapan).
Menurut Muhammad Abid al-Jabiri epistemologi ada 3 macam, yaitu:
1. Epistemology Bayani
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab yaitu (nahwu, fikih dan usul fikih, kalam dan balaghah). Epistemology ini dapat dipahami dari tiga segi, yaitu segi aktivitas pengetahuan, diskursus pengetahuan ,dan system pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan berarti “tampak-menampakkan” dan “faham-memahamkan”.
Ada tiga karakter utama dalam epistemology bayani, ketiga pasang karakter tersebut membentuk konstruksi umum dari epistemology ini dan diandalkan sebagai metode operasionalnya, yaitu pasangan al-lafz-al-ma’na, al-asl-al-far’ dan al-khabr-al-qiyas.
2. Epistemologi Irfani
Epistemologi Irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, dan ‘lyan (persepsi langsung)
Menurut Irfaniyyun, pengetahuan tentang tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, namun diketahui melalui pengalaman langsung.
3. Epistemologi Burhani
Al-Burhan: Argumen yang pasti dan jelas. Merupakan aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode penalaran.
Epistemology pertama kali dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang bersifat rasional spekulatif. Yang dimaksud rasional spekulatif oleh plato semata-mata hanya didasarkan pada dunia ide, yaitu ide-ide bawaan manusia, Sedangkan yang dimaksud rasional spekulatif menurut Aristoteles pengetahun itu tidak berasal dari ide-ide bawaan manusia, Karena ide-ide bawaan itu sebenarnya tidak ada. Manusia memperoleh pengetahuan melalui proses pengamatan inderawi yang panjang yang disebut sebagai proses abstraksi.
Kemudian epistemology dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan ibn Sina menjadi rasional empiric, yang dimaksud rasional empiric yaitu para filosof muslim ini menambahkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui wahyu. Al-Ghazali mengembangkannya menjadi empiric trasendental, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf atau intuisi. Selanjutnya, Ibn Rusyd menjadi empiric eksperimental yaitu epistemology yang dikembangkan al-Ghazali tidak mendasarkan pada hukum kasualitas, tetapi mengandalakan kasyfiyah (penyingkapan).
Menurut Muhammad Abid al-Jabiri epistemologi ada 3 macam, yaitu:
1. Epistemology Bayani
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab yaitu (nahwu, fikih dan usul fikih, kalam dan balaghah). Epistemology ini dapat dipahami dari tiga segi, yaitu segi aktivitas pengetahuan, diskursus pengetahuan ,dan system pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan berarti “tampak-menampakkan” dan “faham-memahamkan”.
Ada tiga karakter utama dalam epistemology bayani, ketiga pasang karakter tersebut membentuk konstruksi umum dari epistemology ini dan diandalkan sebagai metode operasionalnya, yaitu pasangan al-lafz-al-ma’na, al-asl-al-far’ dan al-khabr-al-qiyas.
2. Epistemologi Irfani
Epistemologi Irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, dan ‘lyan (persepsi langsung)
Menurut Irfaniyyun, pengetahuan tentang tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, namun diketahui melalui pengalaman langsung.
3. Epistemologi Burhani
Al-Burhan: Argumen yang pasti dan jelas. Merupakan aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode penalaran.
Senin, 25 Oktober 2010
Langganan:
Postingan (Atom)